Mungkin Kita, Menyiasati Malam
Kenari menari di pagi hari, berkeliling kota-kota dengan berjalan kaki. Dua atau tiga langkah ke depan tidak mengapa, sembari menoleh sesekali ke belakang. Kemudian yang tertahankan olehku. Aku melawan dengan sekuat tenaga, berlalu tegar, tetapi tetap ku tersungkur dalam. Dikubur dalam-dalam, diselimuti kekeruhan, menjamah hingga kepalaku tak berdaya.
Semakin ku melawan, sepanjang tangan mengikis harapku, menginjak-nginjak kata demi kata yang terlantur dari mulutku.
Aku takut pada malam.
Semerbak langit pagi ketika kita hendak menjadi suatu hal yang penting dari sesuatu hal yang lebih berharga lagi bagi diri kita sendiri.
Setengah tahun yang lalu, teralamatkan sebuah puisi kepada Saya, yang nyatanya selama ini Saya merangkai kata-kata hanya untuk dialamatkan kepada seseorang. Tetapi, ini membuat Saya merenungkan tentang kata-kata yang selalu teralamatkan kepada seseorang, tentang bagaimana untaian kata memiliki kekuatan yang begitu magis, meski sang penyair pun tak menyedarinya.
Petrichor
n.n
Aku adalah kemarau,
dan kau adalah hujan.
Aku adalah gersang yang dahaga
dan kau adalah sejuk yang singgah.
Seperti tetes pertama embun pagi
yang jatuh pada tepian dedaunan, dan
seperti semburat cahaya mentari pertama
yang membangunkan bumi setiap harinya.
Kau, hujan,
menghidupkan kembali rasa, cita, harapan.
Kau, hujan,
kebahagiaan dalam sebuah perjumpaan
Namun, jumpa itu berujung tanya.
Mungkin sudah saatnya hujan berhenti turun.
Mungkin sudah saatnya aku bangun.
Mencoba menjawab mungkin-mungkin lainnya.
Lalu Ia pergi, mungkin akan datang lagi.
Menyisakan kemarau yang tdk lagi dahaga.
Tercium bau tanah sehabis hujan.
Aku berdiri, menikmati, berharap akan terulang kembali.
Kini perjumpaan kita
telah terbingkai indah, abadi.
Dengan suasana sehabis hujan
yang turut mengiring kepergianmu.
Saat kelak petrichor datang lagi,
Aku akan tahu,
bahwa kau, hujan,
telah hadir kembali
Memang, terkadang akan ada suatu hari yang begitu magisnya membuat seseorang terlupa dan mengisyaratkan sesuatu. Meskipun terasa sedikit mengada-ngada. Waktu yang sebentar, bisa teramat berharga dalam penantian yang demikian panjangnya. Dan kebanyakan orang tidak menyadari hal tersebut, tentang bagaimana membuat tiap waktu berharga. Ketika berlalu, Ia akan kembali menanti. Menghitung mundur waktu, hingga terulang akan suatu masa.
Selamat terlahir kembali, mengisyaratkan waktu yang berjalan mundur. Dan, di sana Ia akan berada.
Bandung, 16 Frebuari 2019